Honai ini memang sangat penting bagi kita orang Wamena Khususnya kita orang lembah Wamena ini. Karena apa yang kita mau bicara kepentingan budaya Wamena, kita bicarakan di honai Sebenarnya ada macam-macam honai. Ada honai pesta adat, adat rencana pesta perang. Kemudian ada honai Akonaila, ada Ewealia, ada Oma, kemudian ada Ook, Siraila, Sawula. Itu macam-macam sebenarnya, tapi orang katakan semua Honai. Itu salah. Pemahaman orang luar itu salah. Honai yang sebenarnya itu ada dua macam Honai Adat. Honai adat perencana perang, kemudian ada juga honai yang biasanya orang pakai untuk rencana-rencana pesta adat. Kita bisa katakan honai itu sakral (Wesa) Karena dulu kita tidak makan apa-apa. Kita tidak makan ubi Yang kita makan adalah manusia Setelah kita makan manusia, maka Honai itu bisa dikatakan Wesa (sakral) Karena sakral maka perempuan tinggal di Ewe Oma Sedangkan laki-laki tinggal di Honai Jika tanaman kami tidak subur dan isinya kurang Maka kita kembali ke dalam Honai dan membicarakan bagian-bagian yang kurang beres. Situasi perkembangan ekonomi, pembangunan ini membuat bagaimana kita memelihara kembali honai ini kadang-kadang mulai kurang. Karena dulu sistem gotong royong di Baliem ini sangat kuat sekali. Tapi sekarang mungkin ada uang, ya sudah, orang lain kerja. Tapi dulu tidak. Secara spontanitas. Saya tidak mau tinggal di rumah seng (moderen) Saya lebih suka tinggal di honai yang menggunakan (atap) alang-alang Lebiih baik kalau kita punya honai daripada rumah seng Rumah seng itu bagi saya seperti rumah boneka saja. Kalau honai rusak, saya tetap minta dibuatkan honai sebab saya tidak suka rumah seng. kalau tidak ada kayu ataupun alang-alang, saya minta bapak untuk mengundang teman-teman untuk membuat honai bersama-sama. kalau tidak ada rumah asli (honai), yang ada hanya rumah sehat atau rumah seng, itu kelihatan tidak baik. Kalau punya rumah asli (honai) itu kelihatan baik, saya tidak suka rumah sehat/rumah seng karena itu terlihat seperti rumah mainan anak-anakl. Honai ini bagi saya sangat penting karena saya selaku anak kepala suku lalu juga saya selaku anak adat, saya pelaku di dalam adat itu sendiri sehingga mau tidak mau, entah saya tinggal di rumah sehat ataupun saya pejabat sekalipun, saya harus tinggal atau kembali lagi ke kampung.